Ekspektasi saya sebelum membaca buku ini adalah bahwa saya akan lebih terpacu dalam membaca lebih banyak lagi di tahun ini dan saya akan mendapatkan banyak hal baru darinya.
Kenyataannya, saya justru menemui reading slump saya akibat membaca buku ini, meskipun saya memang mendapatkan banyak hal baru darinya.
Inilah Tales of Horror, buku kumpulan tulisan Edgar Allan Poe yang terkenal sebagai penulis cerita-cerita macabre (mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri ) dan pemimpin aliran Romantisisme di Amerika Serikat. Sebelumnya, saya telah membuat ulasan setengah jalan saya atas buku ini dan berpikir bahwa impresi akhir saya tentu akan lebih baik dari sebelumnya.
Mari kita ketahui bersama apa yang buku ini tawarkan. Tales of Horror mengompilasikan 26 tulisan Poe, termasuk ‘The Murders in the Rue Morgue’, ‘The Masque of the Red Death’, ‘The Tell-Tale Heart’, serta ‘The Black Cat’. Penerbitnya, Alma Classics (terlihat dari namanya — klasik), mempertahankan orisinalitas dari setiap cerita, terutama gaya tulisannya yang masih menunjukkan bahasa penulisan pada abad ke-19.
Nah, orisinalitas inilah yang menjadi masalah pertama bagi saya.
Saya bukan pembaca yang terbiasa dengan Bahasa Inggris klasik — tidak langsung menyasar inti pesan yang ingin disampaikan, terlalu banyak penggunaan kata tak perlu, dan kelewat berlarut-larut. Ditambah dengan ukuran tulisan yang kecil, pengalaman membaca saya terasa amat suntuk dan lama — dua mimpi buruk yang pasti ingin dihindari seorang pembaca sebisa mungkin.
Pada awalnya, saya berkespektasi bahwa Tales of Horror dapat menjadi media nostalgia dan mungkin pengantar menuju karya-karya Poe lainnya. Sebagai informasi tambahan (yang tak begitu penting), saya sudah pernah membaca beberapa karya Poe saat masih bersekolah. Namun, ironisnya, saya justru menemui reading slump pertama saya di tahun 2023. Pada akhirnya, saya menghabiskan 39 hari untuk menyelesaikan buku ini, dengan 12 hari di antaranya yang sebenarnya tidak saya luangkan untuk membaca buku sama sekali.
Namun, terlepas dari minusnya, Tales of Horror tentu tetap memiliki nilai plusnya di mata saya. Saya akhirnya ikut memperhatikan dan sedikit mempelajari Bahasa Inggris klasik yang ditunjukkan oleh tulisan-tulisan Poe di sini. Selain itu, terdapat catatan-catatan yang menjelaskan tahun penulisan setiap cerita, kalimat-kalimat yang Poe rujuk pada karya sastra lainnya, dan lainnya. Bagi saya, ini tentu semakin memperkaya dan juga menunjukkan warna tulisan Poe.
Dari 26 cerita di dalam Tales of Horror, barangkali favorit saya adalah ‘The Murders in the Rue Morgue’, ‘The Premature Burial’, ‘Some Words with a Mummy’, dan ‘The Oval Portrait’. Empat cerita ini baru pertama kali saya baca dari buku ini dan mereka punya daya tarik masing-masing, tak perlu harus menimbulkan kengerian. Namun, semuanya punya dua kesamaan yang menjadi penunjuk identitas tulisan Poe: grotesque dan eksentrik.
Pada akhirnya, Tales of Horror adalah sarana yang berhasil mengenalkan saya lebih jauh pada tulisan-tulisan Poe yang ternyata tak hanya berkutat pada horor sinting, for good or for bad. Dengan segala hal positif dan negatif yang saya dapatkan sepanjang membaca buku ini, saya akan berikan nilai yang sama dari ulasan saya di Twitter sebelumnya, yaitu 3.5 dari lima bintang. Kali ini, memang sayalah yang masih kurang mumpuni sebagai pembaca buku tersebut. Walau barangkali bukanlah target pembaca, saya tetap mendapatkan sesuatu dari Tales of Horror. Mungkin saya perlu lebih banyak membaca kisah horor, terutama dari abad ke-19, agar tak lagi menemui reading slump seperti ini. 🤭