Menjelang penutupan tahun 2022, saya pun mengakhiri rutinitas membaca dengan satu buku yang sebetulnya sudah cukup lama mendiami rak mini di atas meja — dengan judul yang tak saya sangka merupakan manifestasi dari buku itu sendiri.
The Other Side of Things.
Setiap pembaca tentunya memiliki ekspektasi terhadap setiap buku yang hendak dia baca, dan kasus saya terhadap buku ini bukanlah pengecualian. Seorang seniman visual besar dari Korea Selatan menulis buku ini yang berisikan kumpulan esai pendek dengan kehidupan sekitar kita sebagai topik besar, serta menghiasinya dengan berbagai macam ilustrasi untuk mendampingi setiap tulisannya. Tawaran menarik, bukan?
Namun, yang saya temui setengah jalan membaca buku ini justru membikin saya mati kutu. Buku ini terbagi menjadi empat bagian, dan dua bagian pertama bertajuk ‘Waktunya Tumbuhan’ dan ‘Dua Puluh Kata’ terasa biasa saja, tidak meninggalkan impresi khusus. Saya malah beberapa kali dibuat bingung dengan tulisan Ahn yang bertele-tele, seakan diajak keliling satu-dua kalimat dalam tiga-empat kali sebelum akhirnya paham maksud dari tulisan tersebut.
Untungnya, hal ini tidak terjadi dengan dua bagian terakhir berjudul ‘Berkat buat Seniman’ dan ‘Rumah dengan Pekarangan’. Perlahan, saya menemukan kenikmatan dari membaca buku ini, terutama pada bagian terakhir. Saya rasa ‘Rumah dengan Pekarangan’ memiliki tulisan-tulisan dan ilustrasi-ilustrasi yang paling relatable dengan realitas banyak orang, termasuk saya. Mungkin itu sebabnya saya lebih mudah memahami tulisan pada bagian ini.
Saya tentu memiliki favorit. Tulisan-tulisan berjudul ‘Anak Laki-Laki yang Lebih Tua Dibandingkan Ayahnya’, ‘Ruang Kerja’, dan ‘Balapan dengan Waktu’. Saya butuh waktu untuk merenungkan tiga esai tersebut.
Sayangnya, hanya tiga itu dari sekitar 67 esai yang terkumpul dalam The Other Side of Things yang dapat meninggalkan kesannya masing-masing. Sisanya meninggalkan kesan apa adanya dan mudah terlupakan bagi saya. Namun, tentu saja ini hanyalah masalah selera. Barangkali pembaca lainnya justru tertarik dengan esai-esai yang berbeda dalam buku ini.
Lalu, saya tentu tidak melupakan aspek ilustrasi yang justru menjadi nilai jual terbesar dari The Other Side of Things. Semua sketsa yang Ahn gambar terlihat apik dan sudah cukup lantang berbicara dengan sendirinya, tanpa perlu penjelasan yang muluk-muluk. Buatku yang awam terhadap seni, suguhan Ahn masih dapat kunikmati tanpa perlu berpikir keras.
Selesai membacanya, saya akan memberikan nilai akhir tiga koma tujuh lima dari lima (atau tujuh koma lima dari sepuluh). Mengutip dari halaman ‘Pengantar Penulis’, Ahn menjelaskan bahwa tulisan-tulisan dalam The Other Side of Things tercipta setiap ‘malaikat lewat’. Menurut Ahn, ‘waktu malaikat lewat’ adalah saat percakapan tiba-tiba terhenti dan muncul keheningan yang terasa asing. Namun, Ahn tidak memerinci satu hal penting: keheningan asing ini muncul karena adanya kecanggungan atau keadaan memalukan. Itulah yang, sayangnya, saya rasakan kepada buku ini. Bacaan yang terasa tanggung dan canggung, seakan momen malaikat lewat terjadi berulang kali, meskipun masih dapat kuterima.