Resensi Buku ‘Until I Meet My Husband’: Demi Diri Sendiri dan Semua yang Membutuhkan Harapan
Judul buku : Until I Meet My Husband (judul asli: 僕が夫に出会うまで/Boku ga Otto ni Deau Made)
Penulis: Nanasaki Ryousuke (七崎 良輔)
Penerbit: Seven Seas Entertainment
Tahun terbit: 2022
Tebal buku: 304 halaman
ISBN: 9781638581031
Saya menulis resensi ini saat tanggal telah memasuki pertengahan Desember 2022. Suasana Natal yang penuh keceriaan dan kebersamaan makin kental terlihat di mana-mana — terasa hangat, terlepas dari keberadaan pendingin ruangan yang tepat di bawah saya. Maka, sudah lumrah jika terlihat pula banyak orang berlalu-lalang, mulai berpikir dan berusaha keras menemukan hadiah Natal terbaik bagi keluarga atau teman.
Namun, bagi Nanasaki Ryousuke, hadiah pada suatu Natal di masa kecilnya menjadi salah satu tanda akan perjalanan hidupnya yang tidak sehangat milik orang kebanyakan, hanya demi penerimaannya atas diri sendiri.
Kenangan tersebut adalah secuil dari kisah hidup yang dituangkan Nanasaki dalam bukunya, Until I Meet My Husband. Buku ini merupakan bentuk esai memoar atas karya Nanasaki, yang juga tersedia dalam bentuk manga sebagai kolaborasi tulisannya dengan Tsukizuki Yoshi. Dengan tulisannya, Nanasaki mengajak pembaca untuk menapak tilas masa kecilnya yang menyudutkannya, masa remajanya dengan kisah cinta berlika-liku, hingga masa dewasanya yang menangguhkan dan menguatkannya untuk menjadi diri sendiri — seorang lelaki gay.
Bagi saya, Nanasaki benar-benar seorang penulis yang jujur dan gamblang dalam menyampaikan kisahnya — bahkan vulgar pada beberapa bagian. Kata ‘vulgar’ dalam konteks ini tidak hanya saya rujuk pada tulisan Nanasaki tentang pengalaman romantis dan seksualnya sebagai manusia homoseksual, tapi juga tumpahan kekesalannya pada konstruksi sosial yang mendiskriminasi minoritas orientasi seksual seperti dirinya. Ini terlihat seperti teguran bagi masyarakat yang dibungkus dengan ringan, layaknya obrolan dengan teman.
Terlepas dari masyarakat global yang lambat laun menerima keragaman orientasi seksual dan identitas gender, tapi diskriminasi dan prasangka terhadap komunitas LGBTQ+ masih pula merupakan kenyataan pahit di banyak tempat, termasuk Jepang. Bagi pembaca LGBTQ+ di mana pun, terutama di Indonesia yang masih cukup konservatif mengenai hal ini, Until I Meet My Husband bisa jadi relatable dengan kehidupan sehari-hari sebagai seorang queer, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi (closeted). Nanasaki secara runut menuliskan proses dirinya yang bermula dari ‘andai aku seorang perempuan agar bisa disukai oleh teman lelakiku’, lalu mencapai penerimaan bahwa ‘aku akui bahwa aku lelaki gay’, hingga menemukan seorang lelaki yang dapat mencintainya dengan apa adanya— bahkan menjadi suaminya dan mendukungnya dalam membesarkan Juerias, badan perencana pernikahan yang dibuatnya bagi pasangan LGBTQ+ di Jepang. Saran dari saya: siapkan tisu. Entah berapa kali saya harus berhenti sejenak karena tak mampu membendung tangis atas kisah sang penulis.
Jika Anda justru sudah lebih dulu membaca versi manga dari Until I Meet My Husband, saya pikir versi esai ini tetap afdal untuk dibaca dari halaman pertama. Banyak sekali bagian-bagian dari esai yang tidak dimasukkan ke daam versi manga, contohnya seperti latar belakang orang tua Nanasaki yang menggeluti dunia olahraga (tidak selalu atlet), serta kisah melela (coming out) sang penulis kepada teman-temannya dan orang-orang yang pernah ditaksirnya. Menurut saya, versi manga dari memoar ini merupakan sorotan, highlights dari beberapa momen besar dalam hidup Nanasaki. Maka, tidak heran jika alur dari versi manganya memiliki kesan terburu-buru atau bahkan lompat sana-sini.
Saat ini, Until I Meet My Husband hanya tersedia dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Inggris. Namun, bagi teman-teman yang barangkali masih belum terbiasa dalam membaca literatur berbahasa Inggris, tak perlu khawatir karena pemilihan kata yang diterjemahkan cukup mudah dipahami dan sering digunakan dalam keseharian.
Buku ini saya rekomendasikan untuk teman-teman pembaca yang barangkali membutuhkan perspektif seorang lelaki gay agar bisa memahami komunitas LGBTQ+, teman-teman yang mungkin membutuhkan bacaan tentang komunitas gay tanpa bumbu fetishization (please stop doing that), atau bahkan teman-teman queer yang penasaran dengan kehidupan seorang queer lainnya. Ingat, you’re not alone and you’re valid!
Pada akhirnya, jika Anda masih mencari hadiah Natal, bolehlah terbuka dengan banyak opsi — perhatikan dan hormati apa yang sekiranya penerima hadiah sukai. Jika mungkin, bisa jadi Until I Meet My Husband adalah salah satu opsi terbaik untuk dihadiahi kepada siapa pun yang percaya bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencintai diri sendiri dan yang dicintai tanpa batas waktu, tanpa harus merasa terancam.